Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia dalam laporannya tahun 2023 mencatat adanya peningkatan jumlah perempuan usia 15-49 tahun di Indonesia yang memilih untuk tidak memiliki anak atau childfree. Berdasarkan hasil survei, sekitar 71 ribu perempuan di rentang usia subur memilih untuk hidup tanpa anak. Fenomena childfree di Indonesia ini dianalisis oleh BPS melalui data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang secara khusus menyoroti perempuan yang telah menikah namun tidak memiliki anak dan tidak menggunakan kontrasepsi.
Faktor di Balik Pilihan Childfree
Istilah “childfree” mengacu pada individu atau pasangan yang secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak, baik melalui kelahiran biologis maupun adopsi. Pilihan ini tidak terkait dengan masalah kesuburan, melainkan murni berdasarkan keinginan dan pertimbangan pribadi. Menurut laporan BPS, banyak perempuan yang beranggapan bahwa memiliki anak memerlukan pengorbanan besar dalam hal ekonomi, sosial, dan psikologis. Anggapan ini diyakini menjadi salah satu alasan mengapa sebagian perempuan memilih untuk tidak memiliki anak.
Perubahan Tren Prevalensi Childfree dalam Empat Tahun Terakhir
BPS juga melaporkan bahwa prevalensi childfree di Indonesia mengalami fluktuasi selama empat tahun terakhir. Pada tahun 2019, angka prevalensi childfree tercatat sebesar 7 persen, kemudian menurun menjadi 6,3 persen pada tahun 2020, kemungkinan akibat kebijakan kerja dari rumah (WFH) selama pandemi COVID-19. Namun, tren ini kembali meningkat di tahun-tahun berikutnya, mencapai 8,2 persen pada tahun 2022. Laporan BPS memproyeksikan bahwa prevalensi childfree berpotensi terus bertambah seiring perubahan pola hidup dan pandangan masyarakat.
Perspektif dan Alasan Pribadi di Balik Pilihan Childfree
Bagi sebagian perempuan, keputusan untuk tidak memiliki anak didasarkan pada berbagai pertimbangan pribadi. Seorang mahasiswi bernama Tasya (20) menyatakan bahwa ia merasa belum siap secara mental untuk menjadi orangtua. Tasya mengaku masih memiliki tantangan pribadi yang perlu diselesaikan sebelum ia bisa merasa layak untuk mengasuh anak. Selain itu, ia merasa takut akan tanggung jawab besar dalam membesarkan anak dan khawatir tidak bisa menjadi orangtua yang baik.
Pandangan serupa disampaikan oleh Audrey (21), yang menyebutkan bahwa ketidaksiapan mental menjadi alasan utamanya untuk memilih childfree. Selain itu, Audrey juga mengaku takut menghadapi proses melahirkan dan berpikir untuk mempertimbangkan opsi adopsi di masa depan. Ia khawatir jika terjadi hal yang tidak diinginkan, seperti meninggal saat melahirkan, maka anak dan suaminya akan terdampak. Audrey menambahkan bahwa ia belum merasa mampu menjadi orangtua yang ideal dan mungkin akan mempertimbangkan pilihan lain di masa depan.
Dampak pada Angka Kelahiran dan Total Fertility Rate (TFR) di Indonesia
BPS juga menyoroti bahwa fenomena childfree berkontribusi pada penurunan angka kelahiran atau Total Fertility Rate (TFR) di Indonesia. Sejak 1971, angka TFR di Indonesia terus menunjukkan penurunan. Tren ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga merupakan fenomena global yang dihadapi berbagai negara. Fenomena childfree di kalangan perempuan diperkirakan turut berperan dalam mempercepat penurunan angka kelahiran ini, terutama dengan semakin banyaknya perempuan yang menunda atau memilih untuk tidak memiliki anak sama sekali.
Kesimpulan dan Proyeksi Masa Depan Fenomena Childfree
Dengan terus meningkatnya prevalensi childfree, tampaknya fenomena ini akan menjadi bagian dari tren sosial di masa depan. BPS memperkirakan bahwa pilihan untuk tidak memiliki anak akan tetap menjadi pertimbangan bagi sebagian perempuan Indonesia. Selain faktor personal seperti kesiapan mental dan ketakutan akan tanggung jawab, alasan profesional dan keinginan untuk menikmati kehidupan pribadi tanpa anak juga menjadi pemicu utama.