Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat telah menjatuhkan hukuman 6,5 tahun penjara kepada Harvey Moeis terkait kasus korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022. Selain hukuman penjara, seluruh aset Harvey yang telah disita oleh pihak kejaksaan dirampas untuk negara.
Menurut keterangan hakim, aset-aset tersebut akan digunakan untuk mengganti kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp 300 triliun. “Barang bukti berupa aset terdakwa yang telah disita diputuskan dirampas untuk negara sebagai pengganti kerugian keuangan negara,” ujar hakim di persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (23/12/2024).
Aset yang disita dari Harvey meliputi properti seperti town house, tas mewah, logam mulia, rekening deposito senilai Rp 33 miliar, serta kendaraan mewah seperti Ferrari dan Mercedes-Benz. Hakim menyetujui permohonan jaksa penuntut umum mengenai barang bukti yang telah diajukan.
Vonis Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa
Dalam persidangan sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Harvey dengan hukuman 12 tahun penjara. Namun, majelis hakim menjatuhkan vonis yang jauh lebih ringan, yakni 6,5 tahun penjara. Selain hukuman penjara, Harvey juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 1 miliar. Apabila denda tersebut tidak dibayarkan, maka akan digantikan dengan kurungan selama enam bulan.
Hakim juga menetapkan bahwa Harvey harus membayar uang pengganti senilai Rp 210 miliar. Jika tidak dibayarkan, aset miliknya akan dilelang untuk menutupi kerugian negara. Apabila nilai aset tersebut masih kurang, hukuman penjara tambahan akan dijatuhkan.
Pro Kontra atas Putusan Hakim
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menilai bahwa vonis tersebut tidak mencerminkan keadilan. Ia berpendapat, seharusnya hukuman yang dijatuhkan kepada Harvey lebih berat, mengingat skala kerugian negara yang mencapai Rp 300 triliun.
“Menurut saya, hukuman 6,5 tahun ini sangat ringan. Jika mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020, korupsi dengan nilai kerugian lebih dari Rp 100 miliar dapat dijatuhi hukuman penjara seumur hidup,” ungkap Boyamin, Senin (23/12/2024).
Boyamin juga menyoroti faktor remisi dan kemungkinan pembebasan bersyarat yang akan membuat Harvey hanya menjalani hukuman sekitar tiga tahun. “Jika dihitung dengan potensi remisi dan cuti menjelang bebas, ini akan semakin memperlihatkan lemahnya efek jera bagi pelaku korupsi,” tambahnya.
Dorongan untuk Mengajukan Banding
Selain itu, Boyamin mendesak jaksa penuntut umum untuk mengajukan banding atas vonis yang dirasa terlalu ringan tersebut. Ia menilai bahwa hukuman yang dijatuhkan tidak proporsional dengan tuntutan awal yang diajukan jaksa. “Vonis ini hanya setengah dari tuntutan. Oleh karena itu, langkah banding harus diambil untuk mencari keadilan yang lebih baik,” tegasnya.
Boyamin juga menyoroti perilaku Harvey selama persidangan yang dinilai tidak kooperatif dan berusaha menutupi keterlibatan pihak lain dalam kasus ini. “Terdakwa tidak menunjukkan itikad baik untuk mengungkap aktor intelektual di balik kasus korupsi ini. Hal tersebut seharusnya menjadi pertimbangan bagi hakim untuk tidak meringankan hukumannya,” jelas Boyamin.
Harvey Moeis dan Kasus Korupsi Tata Niaga Timah
Dalam kasus ini, Harvey Moeis dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sebagai perwakilan PT Refined Bangka Tin dalam kerja sama dengan PT Timah, Harvey dinyatakan bertanggung jawab atas tindakan korupsi yang menyebabkan kerugian negara.
Vonis yang dijatuhkan terhadap Harvey Moeis menjadi sorotan publik dan menuai perdebatan terkait keadilan hukuman bagi pelaku korupsi besar. Kasus ini sekaligus menjadi pengingat akan pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap korupsi untuk melindungi kepentingan masyarakat luas.