Desa Sumurgeneng, yang terletak di Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, sempat menjadi perbincangan hangat pada tahun 2021. Desa ini viral setelah ratusan warganya menjadi miliarder mendadak akibat uang ganti rugi lahan dari proyek pembangunan kilang minyak oleh Pertamina. Dalam momen itu, sejumlah besar warga memborong mobil-mobil baru, sehingga desa ini dijuluki “Kampung Miliarder.”

Pada saat itu, truk towing berjejer membawa berbagai model mobil seperti Honda HR-V, Toyota Rush, Toyota Innova, hingga Toyota Fortuner ke desa tersebut. Kepala Desa Sumurgeneng, Gianto, mencatat ada sekitar 300 unit mobil baru yang dibeli oleh warga dari uang kompensasi tersebut.

Kondisi Desa Tiga Tahun Kemudian

Tiga tahun berlalu, kehidupan di Desa Sumurgeneng mengalami perubahan signifikan. Banyak warga masih memiliki mobil yang mereka beli dulu, dengan sekitar 90 persen mobil tersebut tetap berada di garasi rumah mereka. Namun, ada pula warga yang menjual mobil tersebut karena alasan tertentu, seperti kebutuhan ekonomi.

Belakangan, desa ini kembali menjadi perhatian setelah beredar video warga yang menjual ternak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Video ini memunculkan anggapan bahwa uang kompensasi telah habis, sehingga warga harus kembali bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Gianto menjelaskan bahwa menjual ternak sebenarnya hal yang lumrah bagi petani, terutama sebagai tambahan penghasilan dari panen.

Saat ini, sekitar 65 hingga 70 persen warga masih memiliki lahan atau sawah yang mereka kelola untuk bertahan hidup. Sebagian besar aset tanah yang masih dimiliki berada di luar desa dengan nilai yang telah meningkat dibandingkan harga pembelian sebelumnya.

Minimnya Literasi Keuangan sebagai Tantangan

Menurut Arin Setyowati, pakar ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, salah satu masalah utama yang dihadapi warga Desa Sumurgeneng adalah kurangnya literasi keuangan. Sebagian besar warga lebih memilih gaya hidup konsumtif dibandingkan mengalokasikan dana tersebut untuk investasi produktif. Berdasarkan survei, lebih dari 70 persen uang kompensasi yang diterima warga habis dalam waktu kurang dari dua tahun.

Selain itu, inflasi dan kenaikan biaya hidup turut memperburuk kondisi ekonomi warga. Sebagian besar warga tidak menggantikan tanah yang mereka jual dengan aset yang mampu menghasilkan pendapatan berkelanjutan, seperti bisnis atau investasi properti. Akibatnya, dana yang mereka miliki cepat terkuras.

Arin juga menyoroti kurangnya pendampingan dari pemerintah atau pihak terkait selama proses pembebasan lahan. Tidak ada program edukasi yang dirancang untuk membantu warga mengelola uang mereka dengan bijak. Hal ini mengakibatkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya diversifikasi investasi atau perencanaan keuangan untuk jangka panjang.

Solusi untuk Keberlanjutan Ekonomi

Sebagai pembelajaran, di daerah lain yang mengalami pembebasan lahan, pelatihan kewirausahaan sering kali menjadi kunci keberhasilan warga dalam memanfaatkan kekayaan mendadak. Program seperti pelatihan pengelolaan investasi, pengembangan aset produktif, dan kewirausahaan seharusnya menjadi bagian integral dari proses pembebasan lahan. Pendekatan ini dapat membantu masyarakat menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan dan menghindari jebakan kemiskinan di masa depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *