Sejak peluncurannya pada Senin, 6 Januari 2025, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi oleh pemerintah telah memberikan dampak signifikan terhadap pelaku usaha mikro, terutama di kantin-kantin sekolah. Program ini bertujuan untuk meningkatkan gizi bagi anak-anak sekolah di seluruh Indonesia melalui 190 titik Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di 26 provinsi, dengan dana yang dialokasikan sebesar Rp 71 triliun dari APBN 2025. Namun, meskipun memiliki tujuan positif, pelaksanaan program MBG ternyata mengurangi pendapatan para pelaku usaha mikro.

Penurunan Pendapatan Pelaku Usaha Mikro

Wati (40), salah satu pelaku usaha di kantin SMPN 138 Jakarta, mengungkapkan bahwa sejak implementasi MBG, pendapatannya menurun drastis hingga mencapai 40%. Sebelumnya, ia dapat meraih pendapatan sekitar Rp 700.000 hingga Rp 800.000 per hari, namun sekarang hanya sekitar Rp 400.000. “Pendapatan berkurang signifikan. Dulu bisa dapat Rp 700.000, sekarang paling hanya Rp 400.000,” katanya saat ditemui di kantinnya.

Sama halnya dengan pelaku usaha lainnya, Wati terpaksa mengurangi porsi jualannya untuk menghindari kerugian. “Porsinya harus dikurangi, kalau tetap menjual dalam jumlah banyak, saya akan terus merugi,” jelas Wati. Sayangnya, ia menyatakan belum ada sosialisasi lanjutan yang membahas bagaimana nasib kantin sekolah dalam konteks pelaksanaan program MBG.

Harapan Untuk Peran Pelaku Usaha Mikro

Sulis (35), pelaku usaha lainnya, berharap agar program MBG dapat melibatkan lebih banyak pelaku usaha mikro di kantin sekolah. Ia merasa bahwa program ini lebih berpihak pada vendor besar. “Kami berharap bisa dilibatkan dalam program ini, karena kami siap membantu menyediakan menu untuk anak-anak,” ujarnya. Ia berharap agar pemerintah tidak hanya memprioritaskan pelaku usaha besar dalam program ini.

Di SDN Pulogebang 06, Naya (40) juga merasakan dampak negatif yang sama, di mana penjualan makanan di kantinnya menurun sekitar 40%. “Biasanya saya menjual sekitar 30 paket nasi goreng, sekarang hanya 4 yang terjual setelah MBG dilaksanakan,” ujar Naya. Ia mengungkapkan bahwa makanan yang sebelumnya laris manis, kini tidak lagi diminati oleh para siswa setelah program MBG dimulai.

Tantangan Multiplier Efek Program MBG

Meskipun Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi yakin bahwa MBG dapat memberikan multiplier efek positif terhadap perekonomian, khususnya bagi UMKM, namun beberapa pihak menilai bahwa ada regulasi yang belum mendukung keterlibatan pelaku usaha mikro secara optimal. Budi Arie sebelumnya mengungkapkan bahwa program MBG dapat menyumbang sekitar 0,8% terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, dengan mendorong semangat petani untuk meningkatkan hasil produksi karena adanya pasar bagi produk mereka.

Namun, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia, Hermawati Setyorinny, menyatakan bahwa untuk melibatkan pelaku usaha mikro dalam program MBG, perlu ada peraturan yang lebih mendetail. Saat ini, mitra MBG yang terlibat dalam penyediaan paket gizi harus memenuhi syarat seperti memiliki dapur dengan luas minimal 20×20 meter dan berbadan hukum, yang tentunya sulit dijangkau oleh usaha mikro. “Pemerintah perlu membuat regulasi yang dapat melibatkan usaha mikro, termasuk akses pembiayaan yang lebih mudah,” ujarnya.

Menyusun Regulasi untuk Inklusi Pelaku Usaha Mikro

Hermawati menambahkan bahwa agar pelaku usaha mikro bisa lebih terlibat, pemerintah perlu membuka peluang lebih besar, seperti melalui kerja sama antara usaha mikro dengan usaha sejenis. Selain itu, pengawasan terhadap implementasi program juga sangat penting untuk memastikan bahwa pelaku usaha mikro dapat terlibat tanpa mengalami kerugian yang lebih besar.

Program MBG, meskipun diharapkan memberikan dampak positif untuk ekonomi kerakyatan, tetap perlu disempurnakan agar melibatkan lebih banyak pihak, termasuk pelaku usaha mikro yang berperan penting dalam rantai pasokan makanan di sekolah-sekolah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *