Beberapa kepala desa di Tangerang dilaporkan ke Kejaksaan Agung atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan izin lahan pagar laut. Laporan ini disampaikan oleh Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, pada Kamis (30/1/2025). Boyamin menegaskan bahwa kasus ini tidak hanya terjadi di satu desa, melainkan mencakup beberapa wilayah lain seperti Pakuaji dan sekitarnya.
Dalam laporan tersebut, Boyamin mengungkap bahwa dugaan praktik korupsi ini telah berlangsung sejak 2012. Ia menyoroti keterlibatan perangkat desa, pejabat kecamatan, serta pihak yang bertanggung jawab dalam penerbitan sertifikat tanah. Tidak hanya itu, ia juga menuding Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang ikut andil dalam penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) serta Sertifikat Hak Milik (SHM) dengan cara yang tidak sesuai prosedur.
Modus Operandi: Pemalsuan Dokumen dan Proses Jual Beli Lahan
Menurut Boyamin, manipulasi administrasi dilakukan dengan menerbitkan dokumen kepemilikan tanah secara tidak sah. Salah satu trik yang digunakan adalah membatasi luas tanah yang tertera dalam surat-surat tersebut menjadi maksimal dua hektar, agar tidak perlu mendapat persetujuan dari pemerintah pusat.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa praktik ini berawal dari munculnya isu reklamasi pada tahun 2012. Hal ini menyebabkan banyak warga membeli segel pernyataan lahan dari tahun 1980-an, yang kemudian digunakan untuk mengklaim tanah garapan. Surat-surat ini kemudian diperjualbelikan dengan harga yang bervariasi, mulai dari Rp 2 juta hingga Rp 7 juta.
Dengan adanya transaksi ini, kepemilikan lahan akhirnya jatuh ke tangan beberapa perusahaan yang kemudian mengajukan HGB pada tahun 2023. Meski banyak yang mengetahui bahwa lahan tersebut berada di wilayah perairan, penjualan tetap terjadi karena adanya pihak-pihak yang bersedia membeli dengan harga tertentu.
Daftar Desa yang Terlibat dalam Kasus Lahan Pagar Laut Tangerang
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengungkapkan bahwa dari 16 desa yang memiliki lahan di kawasan pagar laut Tangerang, hanya dua desa yang memiliki sertifikat resmi. Berikut adalah daftar desa yang disebut dalam kasus ini:
- Desa Tanjung Pasir
- Desa Tanjung Burung
- Desa Kohod
- Desa Sukawali
- Desa Kramat
- Desa Karang Serang
- Desa Karang Anyar
- Desa Patramanggala
- Desa Lontar
- Desa Ketapang
- Desa Tanjung Anom
- Desa Marga Mulya
- Desa Mauk Barat
- Desa Muncung
- Desa Kronjo
- Desa Pegedangan Ilir
Proses Hukum dan Penetapan Tersangka
Pada Januari 2024, Polres Metro Tangerang Kota menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus mafia tanah di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji. Ketiga tersangka tersebut adalah Rohaman (mantan Kepala Desa Kohod), Hengki Susanto, dan Hendra. Mereka diduga terlibat dalam pemalsuan dokumen kepemilikan tanah timbul di laut yang kemudian diklaim sebagai tanah garapan.
Sementara itu, kasus ini juga menarik perhatian berbagai lembaga penegak hukum lainnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menelaah laporan dari MAKI, sedangkan Kejaksaan Agung telah memulai penyelidikan sejak pekan lalu. Publik pun menantikan tindakan tegas dari Mabes Polri dalam mengusut tuntas kasus ini.
Dugaan Pemalsuan Sertifikat Tanah di Atas Laut
Boyamin menegaskan bahwa sertifikat tanah yang diterbitkan pada tahun 2023 di atas lahan laut diduga palsu. Ia menyebutkan bahwa meskipun ada klaim bahwa dokumen tersebut berasal dari tahun 1970-an atau 1980-an, faktanya lahan tersebut adalah kawasan perairan yang seharusnya tidak bisa diperjualbelikan atau dimiliki secara pribadi.
Ia juga mengungkapkan bahwa laporan ini mencakup berbagai pejabat desa di wilayah Kecamatan Tronjo, Tanjungkait, dan Pulau Cangkir. Karena itu, menurutnya, seluruh pihak yang terlibat dalam penerbitan sertifikat harus diperiksa, termasuk pejabat di BPN yang menerbitkan dokumen-dokumen tersebut.
Sebagai bukti, Boyamin melampirkan berbagai dokumen seperti akta jual beli, kesaksian warga, serta pernyataan resmi dari Menteri ATR/BPN Nusron Wahid. Ia juga menegaskan bahwa Nusron telah mencabut 50 sertifikat yang dinilai cacat hukum baik secara formal maupun materiil.
Para terlapor diduga melanggar Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika terbukti bersalah, mereka dapat dijatuhi hukuman penjara hingga lima tahun serta denda maksimal Rp 250 juta.
Pentingnya Pengawasan dalam Pengelolaan Lahan Publik
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya pengawasan ketat dalam pengelolaan lahan publik agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah dan lembaga terkait perlu memastikan bahwa setiap izin lahan diterbitkan sesuai dengan regulasi yang berlaku guna mencegah praktik korupsi yang merugikan masyarakat.
Upaya penegakan hukum terhadap kasus mafia tanah di Tangerang diharapkan dapat menjadi peringatan keras bagi pejabat daerah agar tidak terlibat dalam praktik penyalahgunaan wewenang. Selain itu, peran aktif masyarakat dalam melaporkan dugaan pelanggaran juga menjadi kunci dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan dan bersih dari korupsi.