Korea Utara menerapkan hukuman berat bagi pasangan suami istri yang memilih untuk bercerai. Berdasarkan laporan Radio Free Asia, pasangan yang resmi bercerai akan dikirim ke kamp kerja paksa selama satu hingga enam bulan sebagai bentuk penalti atas tindakan mereka. Perceraian dianggap sebagai tindakan antisosial di negara tersebut, yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Konfusianisme. Dalam pandangan mereka, pernikahan adalah ikatan suci yang harus bertahan hingga akhir hayat.

Sanksi bagi Kedua Pasangan yang Bercerai

Awalnya, hanya pihak yang mengajukan perceraian yang akan dihukum. Namun, sejak Desember 2024, pemerintah Korea Utara memperbarui aturan sehingga kedua belah pihak yang bercerai akan dihukum bersama-sama. Salah seorang warga dari Provinsi Ryanggang melaporkan bahwa dia menyaksikan langsung pasangan-pasangan yang baru saja bercerai digiring ke kamp kerja paksa segera setelah keputusan pengadilan dijatuhkan.

“Saya melihat 12 orang yang menerima keputusan perceraian di Pengadilan Rakyat Kabupaten Kim Jong Suk. Setelah itu, mereka langsung dibawa ke kamp kerja paksa,” ungkapnya.

Pandemi Memicu Lonjakan Perceraian

Sejak tahun 2020, angka perceraian di Korea Utara meningkat drastis, terutama di tengah pandemi COVID-19. Situasi ekonomi yang memburuk akibat lockdown menjadi salah satu alasan utama keretakan rumah tangga. Banyak keluarga yang mengalami kesulitan finansial sehingga memicu konflik domestik. Untuk mengatasi fenomena ini, pemerintah mulai menerapkan hukuman lebih keras terhadap pasangan yang memutuskan untuk bercerai.

Seorang sumber lainnya menyebutkan bahwa hukuman yang dijalani sering kali tidak adil. Sebagai contoh, seorang wanita harus menjalani hukuman selama enam bulan, sementara mantan suaminya hanya dihukum selama satu bulan. Perempuan juga sering kali menerima hukuman yang lebih berat dibandingkan laki-laki, bahkan ketika mereka harus mengurus anak kecil.

Kondisi di Kamp Kerja Paksa

Salah satu mantan tahanan yang baru menyelesaikan hukuman di kamp kerja paksa di Provinsi Pyongan Selatan mengungkapkan kondisi yang ada di sana. Dia mengatakan bahwa ada sekitar 80 wanita dan 40 pria yang ditahan di kamp tersebut. Dari jumlah itu, 30 orang dipenjara karena kasus perceraian. Hukuman untuk wanita biasanya lebih lama dibandingkan pria. Sebagian besar pasangan yang bercerai berada dalam rentang usia 30 hingga 40 tahun, dengan alasan utama adalah kekerasan rumah tangga akibat tekanan finansial.

Bagi para janda yang memiliki anak kecil, pemerintah memberikan perlakuan khusus. Mereka diperbolehkan pulang pada malam hari untuk merawat anak-anak mereka, meskipun di siang hari tetap harus menjalani kerja paksa.

Hukuman bagi Pejabat dan Kampanye Anti-Perceraian

Tak hanya masyarakat biasa, pejabat pemerintah yang bercerai juga tidak luput dari sanksi berat. Mereka dapat dikeluarkan dari Partai Pekerja Korea dan kehilangan berbagai fasilitas seperti akses pendidikan, perumahan, serta pekerjaan yang lebih baik.

Untuk mengurangi angka perceraian, pemerintah mengadakan kampanye edukasi melalui organisasi perempuan terbesar di Korea Utara, yaitu Serikat Perempuan Sosialis. Dalam kampanye ini, mereka mengajarkan pentingnya membangun keluarga yang harmonis sebagai dasar masyarakat. Salah satu tema utama yang sering digunakan adalah, “Mari kita cegah perceraian dan ciptakan keluarga yang harmonis.”

Namun, meskipun berbagai upaya telah dilakukan, angka perceraian tetap tinggi. Pemerintah akhirnya mempermalukan para orang tua dari pasangan yang bercerai di depan umum sebagai bentuk pencegahan. Selain itu, pejabat yang dianggap bertanggung jawab atas meningkatnya perceraian di lingkungan kerja juga diberikan hukuman.

Korea Utara dengan keras memberlakukan aturan anti-perceraian melalui berbagai metode, termasuk hukuman fisik dan sosial. Angka perceraian yang meningkat menunjukkan adanya permasalahan mendalam di dalam masyarakat, terutama yang berkaitan dengan tekanan ekonomi dan sosial. Langkah-langkah keras pemerintah, seperti pengiriman ke kamp kerja paksa dan kampanye anti-perceraian, menjadi cerminan kebijakan otoriter yang menempatkan stabilitas keluarga di atas hak individu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *