Ekonom Senior INDEF, Aviliani, menyoroti bahwa saat ini banyak masyarakat kelas menengah ke bawah di Indonesia yang hidup dari pinjaman, terutama melalui layanan pinjaman online. Menurutnya, mereka yang tidak memiliki akses ke lembaga perbankan tradisional (non-bankable) sering kali menggunakan pinjaman ini untuk kebutuhan dasar seperti makan. Namun, banyak yang akhirnya tidak mampu membayar utang tersebut.
Aviliani menambahkan bahwa kelompok ini tidak mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) karena digolongkan sebagai kelas menengah, meskipun kenyataannya mereka masih berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini mempertegas bahwa kemiskinan struktural, di mana pendapatan seseorang sedikit di atas garis kemiskinan tetapi tetap jauh di bawah standar hidup rata-rata masyarakat, semakin kentara di Indonesia.
Perubahan Kelas Menengah dan Dampak Ekonomi
Aviliani juga menyebutkan bahwa banyak kelas menengah yang terdampak oleh Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), terutama akibat pandemi Covid-19 dan efisiensi di era digitalisasi. Menurutnya, tantangan ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Meski ada inisiatif seperti Kartu Prakerja di era Presiden Joko Widodo, dampaknya dinilai belum cukup signifikan dalam mengatasi masalah ini.
Kemiskinan Ekstrem Menurun, Tantangan Baru Muncul
Di sisi lain, tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia telah menurun secara signifikan dalam 10 tahun terakhir, dari 7,9% pada 2014 menjadi hanya 0,8% pada 2024, menurut data Badan Pusat Statistik. Kemiskinan ekstrem ini mencerminkan ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, air bersih, kesehatan, pendidikan, dan akses informasi.
Pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan ekstrem ini melalui tiga strategi utama: mengurangi beban pengeluaran masyarakat, mengurangi kantong-kantong kemiskinan, dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui pemberdayaan ekonomi. Namun, tantangan baru muncul, di mana bantuan kepada masyarakat masih perlu dikaji ulang agar benar-benar efektif menjangkau mereka yang membutuhkan.
Kebutuhan Stimulus untuk UMKM dan Solusi Struktural
Sementara itu, Ekonom INDEF lainnya, Didin S Damanhuri, menekankan bahwa alokasi APBN dan pendanaan perbankan saat ini lebih banyak disalurkan ke sektor besar, bukan UMKM. Padahal, menurutnya, stimulus dari perbankan dan pemerintah sangat penting untuk membantu masyarakat kelas menengah ke bawah, terutama UMKM, dalam menghindari kemiskinan struktural.
Berdasarkan data Bank Indonesia, pendanaan untuk UMKM seharusnya mencapai 99%, tetapi saat ini hanya sekitar 18% yang terealisasi. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan sektor perbankan untuk meningkatkan aliran dana bagi UMKM sebagai salah satu solusi untuk menekan kemiskinan struktural di Indonesia.
Strategi Pemerintah Mengentaskan Kemiskinan Ekstrem
Dalam upaya menghapus kemiskinan ekstrem, pemerintah juga telah memperkenalkan berbagai kebijakan dan program yang lebih terarah. Salah satunya adalah penggunaan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) untuk memastikan bantuan sosial tepat sasaran. Selain itu, program pemberdayaan ekonomi yang lebih terfokus pada masyarakat miskin ekstrem juga telah digalakkan dengan anggaran besar yang dialokasikan.
Pada 2024, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 493,5 triliun untuk perlindungan sosial, serta Rp 76,3 triliun untuk program pemberdayaan ekonomi. Namun, untuk mencapai target kemiskinan ekstrem 0% pada 2025, diperlukan kerja sama yang lebih erat antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk optimalisasi alokasi APBD dan APBDesa untuk program pengentasan kemiskinan.