Fodor’s Travel, sebuah penyedia panduan perjalanan asal Amerika Serikat, memasukkan Bali ke dalam daftar destinasi yang tidak layak dikunjungi pada tahun 2025. Penilaian ini didasarkan pada masalah over-tourism, kemacetan, volume sampah yang meningkat, dan risiko hilangnya identitas budaya Pulau Dewata. Namun, pandangan ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Haryo Soekartono.

Kritik Terhadap Penilaian Fodor’s

Bambang menyatakan bahwa penilaian Fodor’s tidak mencerminkan analisis yang mendalam. Menurutnya, klaim bahwa jumlah wisatawan asing di Bali sudah melebihi kapasitas sangat tidak tepat. “Jumlah turis asing di Bali hanya sekitar 4,7 juta orang, jauh lebih sedikit dibandingkan Pulau Penang di Malaysia yang menerima 6 juta turis. Namun, Penang tidak mengalami masalah seperti yang diklaim Fodor’s,” ujar Bambang.

Ia juga menyoroti penyebab utama kemacetan di Bali, yang menurutnya dipicu oleh banyaknya wisatawan domestik yang menggunakan kendaraan pribadi. Untuk mengatasi hal ini, Bambang mengusulkan pengembangan transportasi publik massal seperti bus yang dapat menghubungkan titik-titik wisata di Bali.

Masalah Sampah di Bali

Salah satu kritik utama dari Fodor’s adalah kondisi sampah di pantai-pantai Bali, yang dianggap semakin memburuk. Menanggapi hal ini, Bambang menyebut bahwa hanya Pantai Kuta yang menghadapi masalah serius terkait sampah, sedangkan pantai-pantai lainnya relatif bersih. “Dari panjang total pantai di Bali sekitar 633 kilometer, hanya sebagian kecil yang mengalami masalah sampah,” katanya.

Namun, data dari Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Bali menunjukkan bahwa volume sampah di Bali terus meningkat. Pada semester pertama 2024, volume sampah mencapai 3.597 ton per hari, naik 230 ton dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, Bali Partnership melaporkan bahwa sekitar 33.000 ton sampah plastik setiap tahun mencemari sungai, pantai, dan laut di Bali.

Pandangan Ahli Lingkungan

Kristin Winkaffe, seorang pakar perjalanan berkelanjutan, menyebut pengelolaan sampah di Bali masih belum mampu mengimbangi laju produksi sampah. Hal senada disampaikan Gary Bencheghib, pendiri Sungai Watch, yang menggambarkan situasi ini sebagai “kiamat plastik.”

World Wildlife Fund (WWF) juga mengkritisi pembangunan pariwisata Bali yang dinilai berlangsung cepat tanpa perencanaan matang. Dampaknya, kerusakan lingkungan menjadi tidak terhindarkan. Laporan Bank Pembangunan Asia bahkan menyebutkan bahwa kualitas air pesisir di Indonesia, termasuk Bali, terancam oleh polusi yang berasal dari air limbah domestik, industri, dan pertanian.

Solusi untuk Mengembalikan Citra Bali

Bambang menegaskan bahwa Bali masih memiliki potensi besar untuk mengatasi permasalahan ini dengan melakukan pengembangan infrastruktur dan memperbaiki sistem pengelolaan sampah. “Dengan transportasi publik yang memadai dan pengelolaan sampah yang lebih baik, Bali dapat mempertahankan statusnya sebagai destinasi wisata utama dunia,” tambahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *